3 Teknologi Mutakhir yang Mendatangkan Cuan bagi MRO

“It’s not a faith in technology. It’s faith in people.”

— Steve Jobs

Janji saya hampir dua tahun lalu akhirnya bisa terpenuhi juga. Menulis tentang teknologi-teknologi baru (emerging technologies) yang ‘merasuki’ dunia penerbangan. Pandemi COVID-19 sungguh membuat banyak sektor bergerak melambat, pertumbuhan ekonomi melambat, perdagangan global menurun, lapangan pekerjaan menghilang, dan sebagainya. Namun saat ini pembatasan mulai dilonggarkan, bahkan sudah ada kecenderungan untuk mengubah pandemi menjadi endemi. New normal kian nyata, gairah saya untuk menulis pun kembali merangkak naik seperti naiknya harga minyak goreng, pertamax dan harga pangan di negeri ini. 

Kita mengenal ada banyak sekali teknologi baru yang bermunculan di tengah-tengah kehidupan manusia akhir-akhir ini seiring dengan hadirnya industry 4.0, mulai dari yang masih berupa konsep hingga yang telah diterapkan secara luas. Meskipun industry 4.0 sangat erat kaitannya dengan industri manufaktur, namun ternyata dampaknya ikut pula dirasakan di berbagai bidang, tak terkecuali dunia aviasi khususnya aircraft maintenance, repair and overhaul atau MRO.

Proudfoot, sebuah perusahaan konsultan global yang bermarkas di Atlanta, Georgia, USA, mengidentifikasi ada 5 teknologi kunci yang paling memberikan dampak terhadap MRO. Kelima teknologi itu adalah 3D Printing (Additive Manufacturing), Prescriptive Maintenance, Digital Twin, Robotics & Drones dan Blockchain. Aplikasi teknologi-teknologi tersebut membuat proses menjadi lebih efisien, memangkas TAT, meningkatkan produktivitas dan mereduksi biaya-biaya sehingga menambah profit margin (baca: cuan) bagi MRO.

Di artikel kali ini, saya akan mencoba mengupas secara singkat peran tiga diantara kelima teknologi tersebut dalam bidang perawatan pesawat terbang. Sementara teknologi lainnya yang tidak dibahas dalam artikel ini akan dibahas secara mandiri di artikel artikel lain.

1. 3D Printing (Additive Manufacturing)

Turn around time (TAT) adalah hal terpenting bagi industri perawatan pesawat. Ketika harus mengganti spare part yang rusak, seringkali MRO dan operator penerbangan mengalami kendala ketersediaan spare part pengganti, lebih-lebih jika pesawat yang dioperasikan tergolong ‘aging’ dimana pabrikan tidak lagi memproduksi komponen dalam jumlah yang memadai dibandingkan armada yang masih terbang. Ditambah lagi adanya pandemi membuat rantai pasok spare part pesawat cukup terganggu.

Salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah teknologi 3D printing atau Additive Manufacturing (AM). Kita tahu bahwa AM adalah proses mencetak sebuah model digital menjadi produk riil berbentuk tiga dimensi melalui penggabungan (joining) material. Hal ini memungkinkan MRO untuk membuat sendiri spare part yang dibutuhkan dalam waktu singkat tanpa harus menunggu spare part pengganti dari pabrikan atau supplier.. Beberapa tahun yang lalu, hampir tidak mungkin bagi MRO untuk memproduksi spare part sendiri, namun kini mulai banyak MRO yang melakukannya.

Di timur tengah, ada Etihad Engineering (bekerjasama dengan EOS dan BigRep) dan Emirates Engineering (berpartner dengan perusahaan eropa UUDS) yang sama-sama mengembangkan produk interior kabin pesawat dengan menggunakan teknologi AM.

Tidak hanya komponen non-critical seperti interior pesawat, AM bahkan digunakan untuk membuat komponen engine turbojet seperti yang dilakukan oleh Pratt & Whitney melalui anak perusahaannya Component Aerospace Singapore bekerjasama dengan ST Engineering, dan GE melalui GE Aviation Engine Service Singapore (GE ASS). 

2. Prescriptive Maintenance

Pada umumnya, preventive maintenance (PM) dilakukan secara rutin dalam interval waktu tertentu (fixed schedule) untuk mencegah terjadinya kegagalan sistem atau komponen, baik itu berupa pekerjaan inspeksi maupun penggantian komponen. Jika terjadi kerusakan atau kegagalan (failure), maka engineer melakukan apa yang disebut dengan reactive maintenance untuk mengatasi kerusakan tersebut.

Prescriptive maintenance adalah strategi perawatan yang telah berevolusi tiga langkah lebih maju dari PM. Mengapa tiga langkah? Karena setelah preventive ada condition-based (CBM) dan predictive maintenance (PdM).  CBM menggunakan sensor-sensor yang ditempatkan di suatu aset, bisa berupa engine atau peralatan lainnya, untuk memonitor kesehatan (health) dan kinerja (performance) dari aset tersebut secara real-time atau periodik. Parameter yang diukur kemudian dibandingkan dengan kondisi tertentu (benchmarks) yang jika terpenuhi akan muncul sinyal peringatan (warning). Sedangkan PdM mengamati trend dari data yang dikumpulkan dari sensor-sensor tersebut, kemudian algoritma tertentu diterapkan untuk memprediksi kapan potensi kegagalan akan terjadi. 

Evolusi strategi perawatan.

Prescriptive maintenance tidak hanya memprediksi kapan kegagalan akan terjadi, tapi juga memberitahu lebih spesifik bagian mana dari sebuah aset yang bermasalah dan akan mengalami kegagalan. Engineer akan mendapatkan rekomendasi corrective action yang harus dilakukan, tidak hanya diberitahu apa problemnya.

Boeing adalah salah satu perusahaan yang getol mengembangkan predictive dan prescriptive analytics. Tak tanggung-tanggung, Boeing melibatkan ribuan ahli data science dan aerospace demi mendapatkan ‘insight’ dari informasi yang dikumpulkan. Contoh penerapan prescriptive analytics misalnya pada pesawat Boeing 787. Saat pesawat landing di airport, seluruh flight data secara otomatis ditransfer ke ground network kemudian diproses dalam suatu siklus yang terdiri dari berbagai tahapan dan aplikasi mulai dari LSAP Librarian Suite, MAESTRO, Boeing Analytx Data Warehouse, Automated Predictive Environment dan Prescriptive detail work instructions & Prescriptions. Walhasil, dengan mengetahui permasalahan sekaligus cara mengatasinya lebih awal, unscheduled maintenance dapat dikurangi sehingga reliability pun semakin meningkat.

3. Digital Twin

Baik CBM, PdM maupun prescriptive maintenance menggunakan sensor-sensor fisik yang mengirimkan data secara real time. Data yang diperoleh tersebut kemudian ‘diumpankan’ ke sebuah sistem yang dapat berupa kloning atau replika digital dari suatu produk atau proses. Sistem ini disebut ‘Digital Twin’. Begitu sistem mendeteksi ada masalah pada aset, sistem langsung mensimulasikan berbagai macam skenario mulai dari mengusut (troubleshooting), menganalisis dan merekomendasikan corrective action yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut.  

Sekitar tiga tahun yang lalu GE telah berhasil membangun komponen digital twin untuk GE90 engine dan sedang mengembangkan digital twin pertama di dunia untuk landing gear pesawat, dimana sensor-sensor diletakkan di bagian yang biasa mengalami kegagalan seperti hydraulic pressure dan brake temperature. Sensor-sensor tersebut mengirimkan data real-time untuk membantu memprediksi malfungsi dan mendiagnosis sisa umur dari landing gear tersebut.

Perusahaan lain yang juga mengembangkan dan menerapkan teknologi digital twin untuk MRO adalah Ubisense dengan platform perangkat lunaknya Smartspace®, Lufthansa Technik’s (LHT) dengan AVIATAR-nya dan Siemens dengan Xcelerator-nya.

Nah, itulah tiga teknologi yang paling memberikan dampak dan berpotensi mendatangkan cuan bagi MRO. Selain itu masih banyak teknologi lain yang secara langsung maupun tak langsung masih terkait juga  dengan ketiga teknologi di atas, yang akan kita bahas lebih jauh di artikel berikutnya.